Blog | Beli Rumah | Belajar HTML dan PHP | Kontak | Gmail | Uang Adsense
Audit Sistem Informasi
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Komputer dan Pendidikan
Pengobatan Ruqyah
Daftar Isi | Skripsi SI | B. Arab | Sertifikat Komputer Internasional | PrivacyPolicy | Inggris Arab

Saturday, April 6, 2013

Percepatan Rezeki Bukan Berarti Harus Kaya


Percepatan Rezeki Bukan Berarti Harus Kaya
(Tanggapan Terhadap Buku Percepatan Rezeki Karya Ippho ‘Right’ Santosa)



Tulisan ini saya buat bukan untuk menyangkal buku yang sudah ada, tapi berupa reaksi pemikiran saya setelah membaca buku “Percepatan Rezeki Karya Ippho ‘Right’ Santosa.” Saya bukan ulama, bukan ilmuwan, bukan orang cerdas dan bukan orang yang layak menyalahkan prinsip-prinsip yang dibahas pada buku di atas, tapi saya hanya menginformasikan keberadaan sesungguhnya kepada dunia bahwa di tengah-tengah gencarnya prinsip-prinsip motivasi untuk kaya ada juga yang masih menganggap bahwa miskin itu indah, miskin itu mendatangkan inspirasi, dan miskin itu tidak perlu ditakuti, lebih-lebih miskin itu belum tentu digolongkan sebuah dosa seperti halnya kaya yang juga belum tentu dikategorikan menjadi sebuah ibadah.


Seandainya tulisan saya ini keliru, semoga dengan hadirnya tanggapan saya ini mengundang berbagai pihak untuk meluruskannya. Seandainya tulisan ini tidak keliru, semoga menjadi penyeimbang prinsip-prinsip optimisme para motivator yang sampai saat ini masih banyak orang belum mampu mencapainya.
Apabila tulisan ini menyebabkan ketidak-setujuan para pembaca, anda patut bersyukur karena anda masih bisa memilih. Apabila tulisan ini menyebabkan anda ingin mencibir, gantilah cibiran anda dengan pemberian solusi karena saya yakin di dunia ini masih banyak yang miskin, padahal sebenarnya ingin kaya. Apabila tulisan ini mengundang kata setuju dari para pembaca, maka jadikanlah tulisan ini sebagai penyeimbang buku-buku yang ditulis oleh para motivator yang penuh optimisme, tidak perlu mencari pihak yang harus dipersalahkan.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menimbulkan perdebatan, tapi untuk menyeimbangkan motivasi yang serba mungkin, menjadi lebih berpikir bijak untuk mengakui bahwa di dunia ini tidak semua mungkin, melainkan ada yang tidak mungkin. Manusia itu mungkin kaya, tapi mungkin juga miskin. Tidak akan terjadi semua manusia bisa kaya! Apakah kita tidak perlu berusaha kaya? PERLU, manusia perlu atau harus berusaha untuk kaya, tapi tercapainya posisi kaya bukan keharusan, karena tidak semua orang yang sudah berusaha akan menjadi kaya, pasti ada yang gagal. Adapun gagal itu bukan untuk ditakuti, karena semua orang mungkin gagal, dan gagal bukanlah aib tidak pula menjadikan manusia hina. Miskin itu tidak perlu ditakuti karena miskin tidak akan membuat manusia hina.

Apabila ada perasaan janggal ditinjau dari ilmu agama yang anda miliki maka kajilah lebih mendalam referensi agama dengan lebih seksama, karena tulisan ini bukanlah buku agama. Apabila ada perasaan janggal ditinjau dari metodologi penelitian ilmiah yang anda miliki maka kajilah lebih mendalam referensi penelitian ilmiah dengan lebih seksama lagi, karena ini bukanlah hasil penelitian. Buku ini ditulis berdasarkan pemikiran subyektif penulis yang diselaraskan dengan kejadian-kejadian yang pernah dialaminya. Saran dan kritik sepedas apapun sangat saya nantikan untuk perbaikan tulisan berikutnya. Salam hangat dan selamat membaca!



BAB I: WARISAN NABI

(halaman 18)
“Pernahkah Nabi Muhammad itu miskin? Pernah, tapi hanya sebentar. Yang sesungguhnya, ia lebih lama kaya daripada miskin.”
Lama atau sebentar itu tidak bisa dijadikan pijakan untuk diteladani. Seandainya nabi Muhammad kaya sebelum jadi Nabi, maka yang lebih layak diteladani adalah masa ketika beliau sudah jadi Nabi. Adapun kemiskinan yang dialami Nabi karena digunakan membantu fakir miskin, saya setuju. Yang tidak setuju adalah mengharuskan umat jadi kaya dengan alasan Nabi juga kaya. Mengapa tidak setuju? Karena seandainya kaya itu keharusan, maka nabi tidak akan menjadi miskin membantu fakir miskin, tapi beliau akan tetap kaya dan memberikan solusi dan strategi zitu kepada umatnya untuk bersama-sama kaya.

“Hanya saja, ia sederhana. Makanya ia memiliki makanan, pakaian, dan alas tidur yang alakadarnya.”
Kesederhanaan yang beliau tunjukkan mengisyaratkan kita harus menghargai orang-orang miskin. Jadi, tetap saja orang miskin di dunia ini tidak bisa semua berubah menjadi kaya. Pendek kata, tidak ada keharusan untuk kaya, yang ada paling juga anjuran untuk kaya. Keharusan berarti kalau tidak dilakukan akan menimbulkan dosa, apabila anjuran tidaklah dosa bagi yang tidak melakukannya, walaupun kalau hitung-hitungan masuk kategori pas-pasan.

“Adakah sahabat Nabi yang tidak kaya? Di antara empat sahabat terdekat Nabi, ternyata hanya Ali bin Abu Thalib yang tidak kaya.”
Ini membuktikan bahwa kaya itu bukan keharusan, kaya itu bukan kewajiban. Sayyidina Ali saja sudah mencontohkan tidak kaya, padahal beliau seorang yang cerdas. Seandainya manusia harus kaya, maka sudah selayaknya keempat sahabat tersebut semuanya kaya.

“Di antara sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga, ternyata hampir semuanya orang kaya.”
Di sini juga terlihat pada ungkapan “hampir semuanya kaya”. Makna hampir berarti tidak semua kaya dong. Dengan demikian, ada kemungkinan  sahabat Nabi yang miskin, tapi tetap dijamin masuk surga.

***

(halaman 19)
“Bagaimana dengan istri kesayangan Nabi, Siti Khadijah? Ternyata ia lebih kaya daripada Nabi.”
Nah, ini membuktikan keteladanan Nabi sendiri. Seandainya kaya itu keharusan, masa iya Nabi kalah kaya oleh isterinya yang notabene pastinya Nabi lebih mulia dibandingkan Siti Khadijah. Dengan kata lain, Nabih lebih sangat layak menjadi teladan daripada isterinya. Apalagi kalau mengingat isteri Nabi yang lainnya yang tidak termasuk orang kaya harta.

“Kalau memang Anda mencintai Nabi dan para sahabat, maka jangan kecewakan mereka. Teladani mereka. Pastikan Anda kaya!”
Ini yang kurang sependapat. Kalau melihat ungkapan di atas, maka seolah-olah kita harus kaya. Padahal sudah diungkap sebelumnya bahwa tidak semua sahabat Nabi itu kaya. Bahkan saya jadi nyeleneh nih, kalau hanya manusia kaya yang dikategorikan meneladani sahabat Nabi, kita lupa berarti orang kaya tersebut tidak meneladani sahabat Nabi yang miskin.

“Kalau ada seorang muslim yang membiarkan dirinya miskin, berarti dia telah membangkang dan mengkhianati teladan-teladannya! Bukankah teladan-teladannya kaya? Bukankah teladan-teladannya menyuruhnya untuk kaya?”
Saya juga mengajukan pertanyaan: Bukankah tidak semua teladan-teladan kaya? Kalau semua kaya berarti syurga itu diperuntukkan bagi yang kaya harta saja. Bukankah teladan-teladannya tidak memberikan perintah jelas dan khusus untuk menjadi kaya? Kalau ada yang dengan jelas dan tegas memerintah kaya mungkin bisa berungkap seperti ini: “Kamu semua harus menjadi orang kaya!” Dalam buku ini saya belum menemukannya.

Dalam kutipan di atas tertulis “membiarkan dirinya miskin”, saya setuju karena membiarkan miskin itu berarti tidak mau berusaha. Akan tetapi tulisan tersebut tidak mengharuskan manusia kaya, kan? Apabila sahabat penulis benar-benar ingin mengharuskan kaya, maka gantilah ungkapan di atas dengan “Kalau ada seorang muslim yang miskin, berarti dia telah membangkang dan mengkhianati teladan-teladannya! Nah, kalau diganti begini jelas bahwa kita harus kaya, dan saya tidak setuju dengan ungkapan pengganti ini.

***


Babakan Cikalama, 2 Juni 2012
Komarudin Tasdik



"Investasi Emas dan Reksadana, Untung Mana?."
Youtube: Katabah Com: Menuju 1 jt Konten :)

No comments:

Post a Comment