Blog | Beli Rumah | Belajar HTML dan PHP | Kontak | Gmail | Uang Adsense
Audit Sistem Informasi
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Komputer dan Pendidikan
Pengobatan Ruqyah
Daftar Isi | Skripsi SI | B. Arab | Sertifikat Komputer Internasional | PrivacyPolicy | Inggris Arab

Tuesday, October 27, 2015

Definisi Ghashab Dalil Hadits dan Bahasa Arab

Hello Katabah!
Pada posting ini, saya menulis dalil hadits tentang larangan ghashab (dibaca: gosob) yang mana istilah ini agak sering terdengar diucapkan oleh beberapa pemilik tanah di suatu kampung ketika sebagian tanahnya ingin digunakan untuk jalan umum dengan lebar sekitar 1 meter.

Menurut buku Bulughal Maraam (A. Hasan), ghashab adalah merusak, mengambil, mengganggu hak orang lain. Ini bunyi haditsnya:


مَنِ اقْتَطَعَ شِبْرًا مِنَ الْاَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقَهُ اللهُ اِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ اَرَضِيْنَ

Artinya:
“Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan kedlaliman, niscaya Allah kalungkan dia dengannya pada hari Qiyamat dari tujuh bumi.” (HR Muttafaq ‘alaih)

Kalau melihat hadits di atas, ngeri juga sanksinya ya…? Namun, kita tidak boleh salah menerapkan dalil. Dalil di atas harus dipegang teguh dan ditaati oleh orang-orang yang ingin menggunakan tanah milik orang lain, termasuk untuk keperluan umum seperti jalan setapak.

Namun para pemilik tanah seharusnya jangan menerapkan hadits di atas karena akan menjadi kikir. Harusnya, pemilik tanah itu ingat pada pahala memberikan waqaf seperti halnya banyak dilakukan orang yang punya tanah, kemudian memberikannya untuk pembangunan sekolah, mesjid dan fasilitas umum lainnya.

Kalau penerapan dalil tidak tertukar, maka harmonislah hidup kita. Tapi ketika menerapkan dalil tertukar (atau sengaja ditukarkan), maka malapetaka tetap akan “menebas leher” kita di akhirat.


Belajar Bahasa Arab
Pada dalil larangan ghashab di atas, saya belajar penggunaan kata benda (isim) jamak dalam bahasa Arab yang ujungnya berakhiran “wawu-nun” dan “ya-nun”.

Pada hadits di atas, ada yang menggunakan “ya-nun” seperti pada penggalan:
مِنْ سَبْعِ اَرَضِيْنَ
(dari tujuh bumi)

Kata “aradhini” (اَرَضِيْنَ) artinya bumi, termasuk jamak. Bentuk jamak ini menggunakan huruf “ya-nun” di akhirnya karena ada penyebab jar (kasrah).

Seandainya “aradhini” (اَرَضِيْنَ) berdiri sendiri, maka akan tertulis “aradhuna” (اَرَضُوْنَ) karena bentuk jamak dari mufrad “ardhun” (اَرْضٌ).

Lalu, kata “aradhini” (اَرَضِيْنَ) itu jamak taksir atau jamak mudzakar salim ya…?
Awalnya, saya menyebut itu sebagai jamak mudzakar salim. Akan tetapi, saya berubah pikiran, sehingga menyebutnya jamak taksir karena harokat pada huruf “ra” dalam bentuk jamak berbeda dari bentuk mufradnya (sukun di mufrad, fathah di jamak).

Bagaimana pendapat Anda…?


Artikel Terkait:

"Investasi Emas dan Reksadana, Untung Mana?."
Youtube: Katabah Com: Menuju 1 jt Konten :)

No comments:

Post a Comment