Blog | Beli Rumah | Belajar HTML dan PHP | Kontak | Gmail | Uang Adsense
Audit Sistem Informasi
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Komputer dan Pendidikan
Pengobatan Ruqyah
Daftar Isi | Skripsi SI | B. Arab | Sertifikat Komputer Internasional | PrivacyPolicy | Inggris Arab

Monday, April 13, 2015

Islam Itu Rasio Atau Percaya?

Kita mungkin sudah sering mendengar bahwa agama (Islam) itu untuk orang yang berakal. Saking hebatnya kekuatan akal sehingga muncul aliran yang hanya bertumpu pada akal dan wahyu. Ini menjadi perdebatan menarik sampai kini, bagi para pembelajar Islam yang haus dengan diskusi.


Namun ketika membicarakan tentang rasio, akal atau daya pikir biasanya muncul perbedaan definisi juga. Ada yang mengatakan bahwa akal itu mencakup otak saja; ada juga yang mengatakan bahwa akal itu mencakup otak dan hati.

Perbedaan tentang akal di atas tidaklah aneh karena terjadi juga pada definisi hati. Hanya terkait dengan hati saja, kita bisa berbeda pendapat tentang makna hati, qalbu, dada, rasa dan jantung. Inilah otak manusia yang selalu tak puas dengan ilmu pengetahuan walaupun tahu ilmunya sangat terbatas.

Kalau sama-sama saja atau setuju-setuju saja sudah saja jadi malaikat. He..he..

Baiklah kita kembali ke rasio dan percaya. Di sini kita sepakati saja bahwa orang yang rasional itu yang selalu mengandalkan pemikiran, logis enggak? Masuk akal enggak?

Jadi, apakah Islam itu selalu rasional?
Jawabannya, Fauz Noor dalam bukunya “Berpikir Seperti Nabi” menceritakan kembali yang telah diceritakan oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid), yaitu tentang percakapan antara Sutan Takdir Alisjahbana (seorang ateis/rasionalis di waktu muda) dan Agus Salim (seorang yang cerdas dan agamis).

Berikut ini ringkasan percakapannya:

Takdir: Mengapa masih saja sembahyang? Sembahyang sungguh tak masuk akal. Saya tak mau dan tak bisa menerima sesuatu yang tidak masuk akal.

Agus Salim: Kalau kamu pulang ke Minang naik apa?
Takdir: Ya naik kapal.

Kemudian Agus Salim menjelaskan cukup panjang lebar:
“Kalau kamu pulang naik kapal berarti tidak konsisten karena kamu naik kapal itu bukan karena sudah tahu, tapi hanya percaya. Anda percaya bahwa nahkoda akan membawa Anda ke tujuan (Minang) dengan selamat. Padahal Anda tidak tahu sekelumit tentang kapal dan kalau harus mempelajari dulu kapal sebelum pulang, maka mustahil!”

Lucu juga ya kalau dialog orang-orang cerdas? Kenapa orang secerdas Takdir bisa seolah-olah ‘bodoh’ di depan Agus Salim? Apakah kecerdasan Takdir terlalu rendah?

Tidak. Takdir adalah seorang yang cerdas juga. Orang yang ateis itu bukan berarti bodoh. Tapi mereka terlalu dominan menggunakan rasionya.

Kenapa Agus Salim bisa terpikir tentang ‘percaya’? Mungkin beliau karena berangkat dari seorang agamawan yang sudah terbiasa menilai sesuatu atau berpikir dengan mengkombinasikan wahyu, akal (rasio) dan hati.

Kalau hanya mengandalkan rasio, sudah pasti banyak manusia yang tidak menyembah Tuhan. Memangnya buat apa Shalat, apalagi setelah shalat, hidup kita masih tetap miskin dan menderita? Iya kan? Makanya enggak cukup rasio saja untuk memahami agama itu. J

"Investasi Emas dan Reksadana, Untung Mana?."
Youtube: Katabah Com: Menuju 1 jt Konten :)

1 comment: