Blog | Beli Rumah | Belajar HTML dan PHP | Kontak | Gmail | Uang Adsense
Audit Sistem Informasi
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Komputer dan Pendidikan
Pengobatan Ruqyah
Daftar Isi | Skripsi SI | B. Arab | Sertifikat Komputer Internasional | PrivacyPolicy | Inggris Arab

Friday, June 10, 2016

Cita-Cita Kaya Sendiri vs Membantu Orang, Sukses Mana?



Hello Katabah!
Ramadhan ini mungkin banyak ustadz yang membahas: “Jika kita mau membantu orang lain, maka kehidupan kita akan dimudahkan.” Tapi saya punya jawaban yang sedikit berbeda nih.


Ada 2 orang kakak beradik. Keduanya memiliki cita-cita yang berbeda. Si Kakak hampir selalu berkeinginan:
1. Jika kakak berhasil panen kayu ini, kakak mau membeli sepeda motor bagus
2. Jika kakak gajian, kakak ingin membeli sepeda motor gede.

Hasilnya apa?
Ia mampu mewujudkan cita-citanya.

Bagaimana dengan Si Adik?
Ia hampir selalu berkeinginan:
1. Jika adik gajian yang cukup, adik mau membantu kakak.
2. Jika adik berhasil kuliah, adik mau mengajak orang-orang kampung untuk kuliah dengan tanggungan sedikit ongkos.

Apa hasilnya?
Si Adik gagal kuliah dan gajinya belum mampu membantu kakaknya yang kekurangan secara ekonomi.

Saya tambahkan satu lagi…
Ada seorang anak yang usianya jauh lebih muda dibandingkan Si Adik yang diceritakan di atas.

Ia sangat dikhawatirkan keluarga karena terlalu banyak jajan dan tidak suka belajar. Tampilan keren tampaknya lebih utama daripada memikirkan saudaranya yang hidup kekurangan.

Bagaimana nasib anak muda ini?
Ia sukses mendapatkan gaji abdi negara, membeli sepeda motor besar-keren, dan berencana membeli sawah walaupun kredit dengan anggaran (plus lain-lain) Rp 100 juta, padahal ia baru berkarir kurang lebih 1 tahun.

Cerita pemuda terakhir ini menyadarkan saya tentang adanya cerita anak kiai yang nakal ketika masih remaja, tapi tetap jadi kiai tersohor ketika sudah dewasa.

Saya menulis cerita ini sebagai penyadar bahwa cita-cita baik belum tentu akan diberikan kemudahan. Sebaliknya, cita-cita memperkaya diri sendiri belum tentu gagal, bahkan bisa jadi kenyataan.

Muncullah pertanyaan besar di benak saya: “Bagaimana saya harus menyarankan anak-anak untuk bercita-cita?”

Haruskan menyarankan cita-cita seperti ini:
1. Harus mau membeli sepeda motor mewah
2. Harus bercita-cita membeli mobil mewah
3. Harus sering jajan
4. Harus bercita-cita memiliki rumah mewah walau kakak masih hidup dalam kemiskinan?


Atau harus menyarankan cita-cita seperti ini:
1. Harus mau membantu memperbaiki rumah kakak yang berlantai tanah
2. Harus membantu anak tetangga untuk mendapatkan beasiswa kuliah
3. Harus menghemat uang jajan agar beban orangtua berkurang.
4. Harus hidup hemat agar uang kita bisa digunakan untuk memberi makan fakir-miskin, termasuk guru ngaji yang ekonomi keluarganya masih kekurangan?

Nah, saya masih belum mantap menyarankan orang lain untuk memilih salah satu dari kedua jenis cita-cita yang berseberangan seperti di atas. Pesan penting dari saya: setiap cita-cita mempunyai resiko pahit dan manisnya, maka kita harus berani menghadapinya.
"Investasi Emas dan Reksadana, Untung Mana?."
Youtube: Katabah Com: Menuju 1 jt Konten :)