Blog | Beli Rumah | Belajar HTML dan PHP | Kontak | Gmail | Uang Adsense
Audit Sistem Informasi
Sistem Informasi (S1)
Manajemen Informatika
Komputer dan Pendidikan
Pengobatan Ruqyah
Daftar Isi | Skripsi SI | B. Arab | Sertifikat Komputer Internasional | PrivacyPolicy | Inggris Arab

Saturday, July 30, 2016

Shalat Jadi 5, Ini Pencitraan Yahudi



Hello Katabah!
Tulisan ini cukup menguras isi kepala. Bagi yang terlalu mudah sensitif atau berkeyakinan dengan metode tertutup, tidak perlu dilanjutkan membacanya karena Anda akan tercengang. He..he..


Ini masih oleh-oleh mudik Lebaran. Di tengah guyuran hujan, kami ngobrol-ngobrol di halaman rumah dengan saudara dan tetangga. Ada yang sambil minum kopi, air putih, opak, dodol, dll.

Salah satu obrolan yang menarik bagi Abah adalah ketika seseorang berkata bahwa “Jumlah shalat menjadi lima waktu itu adalah politik pencitraan Yahudi”. Hi..hi..kayak kampanye Jokowi vs Prabowo saja…!

Kenapa?
Karena shalat lima waktu itu disepakati Allah dan Nabi Muhammad setelah menerima saran dari Nabi Musa. Kita tahu bahwa Nabi Musa adalah Nabi untuk kaum Yahudi.

Jadi, dengan peran serta Nabi Musa tersebut, maka kaum Yahudi “memaksa” orang Islam untuk tidak melupakan jasa-jasa Yahudi, terutama Nabi Musa. Intinya, dalam shalat lima waktu pun, Yahudi sangat berjasa bagi orang Islam. Bagaimana, Anda setuju?

Sang pembicara, sebut saja Kang Dadap, melanjutkan ceritanya bahwa cerita Nabi Musa membantu tawar-menawar jumlah shalat hingga 5 waktu itu sebenarnya hanyalah akal-akalan cerita Yahudi saja, saudara-saudara….! Tidak ada sumber autentik…!

Ini cukup membuat Abah tercengang karena sumber yang Abah baca sejak SD memang begitu, Nabi Musa ikut menyarankan agar shalat itu 5 waktu saja.

Benar atau tidak bahwa sumber tersebut tidak valid, Abah nyerah karena harus membaca dulu lebih banyak. Akan tetapi, Abah sedikit berbeda pandangan seandainya sejarah bahwa Nabi Musa ikut sumbang saran itu benar.

Kalau Kang Dadap dengan cerita tawar-menawar di atas menunjukkan bahwa yang paling berjasa adalah Nabi Musa, tapi Abah tetap memandang bahwa  Nabi Muhammad yang paling berjasa.

Kang Dadap balik nanya, kenapa?
Poin pokok dalam peristiwa Isra Mi’raj itu kan shalat. Berapapun jumlah rokaat atau waktunya tetap saja shalat. Seandainya Nabi Muhammad tidak menerima wahyu shalat, maka Nabi Musa tidak bisa berkontribusi apa-apa tuh. Sampai di sini, Kang Dadap belum setuju juga….hi..hi…

Abah tambahkan analoginya begini:
Abah membangun rumah lengkap (mulai dari lantai, dinding, pintu sampai atap). Maka anggap saja rumah itu adalah shalat.

Tiba-tiba kakak menyarankan agar rumah dilengkapi tempat parkir mobil pribadi. Tempat parkir ini diibaratkan sebagai jumlah shalat 5 waktu.

Seandainya kakak Abah tidak menyarankan tempat parkir di depan rumah, maka tetap saja Abah sudah sukses membangun rumah walaupun tanpa tempat parkir.

Jadi, lebih penting rumah dari tempat parkir, bukan? Karena Abah sedang menjalankan rencana besarnya adalah pembangunan rumah, bukan pembangunan tempat parkir.

Dalam Isra Mi’raj juga, Allah sedang melakukan “pembangunan” shalat, bukan jumlah rakaatnya, iya kan?

Sampai di sini, kami hanya ketawa-ketawa saja karena tidak terjadi kesepakatan. Ha..ha….

Catatan:
Analogi di atas diubah agar lebih mudah dipahami. Analogi yang sebenarnya saat kami ngobrol adalah tentang pinjaman ke bank, yaitu: pinjaman ke bank sebagai shalatnya, sedangkan bunga sebagai jumlah shalatnya.

Baca juga:
"Investasi Emas dan Reksadana, Untung Mana?."
Youtube: Katabah Com: Menuju 1 jt Konten :)

No comments:

Post a Comment