Pendahuluan kuliah sesi ini adalah “Mohon
maaf kalau saya bertingkah agak kurang nyaman karena kancing bajuku terlepas
satu, mungkin tadi di angkot.” Kata-kata saya ini disambut senyuman mahasiswa
dan jawaban: “Enggak apa-apa kok, Pak.”
Kelas itu bersama saya dua sesi,
namun diselingi istirahat dulu. Setelah beres satu sesi, kami pun istirahat
dulu. Para mahasiswa dipersilahkan istirahat duluan karena saya seperti biasa
mengecek kertas, buku, dan pensil di meja, takut ada yang ketinggalan.
“Maaf Pak, tadi kelihatannya Bapak kurang
nyaman di kelas. Boleh saya bantu kancingnya?” Kata seorang mahasiswa yang
sudah akrab di mataku. Dia itu koordinator kelas.
Aku: “Memangnya kamu bisa memasang
kancing?” Saya kurang percaya karena dia laki-laki.
Koordinator kelas: “Sebenarnya saya
juga bisa, Pak, tapi kurang rapi. Tuh sama Siti saja! Perempuan kan biasanya
lebih rapi. Dia juga pandai menjahit lho, Pak.”
Tanpa menunggu jawaban saya, Koordinator
Kelas memanggil mahasiswi yang namanya Siti. Memang tampaknya mahasiswa tidak
terlalu canggung kepada saya karena saya sejak awal kuliah mempersilahkan
mereka memposisikan saya sebagai orangtuanya, kakaknya, temannya, atau partner,
yang penting mereka harus nyaman, namun tetap beretika.
Siti pun menghampiri kami berdua.
Setelah membungkukan sedikit badannya (Sunda: mangut) sebagai hormat ke Saya,
dia bertanya ke Koordinator Kelas: “Ada apa ya Mas?”
Koordinator Kelas: “Ini, Pak Komar
mau dibetulin kancing bajunya. Kamu kan ahlinya. Boleh kan?”
Siti: “Boleh, tapi jarum dan
benangnya di kosan.”
“Tenang saja Pak, kosan Siti tidak
jauh dari sini. Jalan kaki juga bisa nyampai. Atau pakai saja sepeda motor
saya!” Kata Koordinator Kelas.
Aku: “Enggak keberatan nih, Mbak?”
Aku setengah tidak percaya ada Mahasiswi sebaik itu.
Siti: “Iya, Pak. Bapak kan dosen
kami. Kenyamanan Bapak, kenyamanan kami juga. Mari, Pak!”
Kami bertiga berjalan menuju lantai
satu untuk kemudian menuju parkir motor. Biar cepet, saya dipinjamin motor sama
Koordinator kelas. Aku membonceng Siti, seorang mahasiswi cantik, anggun,
sopan, dan cerdas.
Walaupun dosen, tapi karena bujangan
dan jarang sekali membonceng perempuan, aku sedikit gerogi, hatiku pun degdegan.
Dosen yang lain pernah bilang: “Siti itu bintang kampus, cantiknya dan
cerdasnya OK punya.” Bahkan sempat disaranin jadi isteri saya segala.
“Di sini, Pak, kosan saya.” Kata
Siti. Ternyata kami sudah tiba di kosannya. Sungguh perjalanan yang terlalu
singkat…!
Siti: “Maaf, Pak. Kosannya kecil.
Jadi, Bapak duduknya di luar karena sedang tidak ada teman-teman. Enggak
apa-apa kan, Pak?”
Aku hanya mengangguk saja semakin terpesona
pada sambutannya yang penuh dengan etika agama.
Siti: “Maaf Pak, silahkan masuk
sebentar. Bapak buka baju dulu. Pakai dulu jaket saya. Biar nunggu di luarnya
agak nyaman dikit lah. Saya nunggu di luar.” Dia tersenyum lagi.
Siti pun memasang kancing baju saya
di depan kosan, kebetulan ada satu kursi dan tembokan yang agak tinggi buat
nangkring anak kosan. Aku sedikit curi-curi pandang ingin memastikan: Mahasiswi
ini membantu saya terpaksa atau tidak? Ternyata di wajahnya hanya tergambar ketulusan,
sambil sesekali melempar senyum kecil.
Siti pun ke dalam kamar kosan lagi,
dan tiba-tiba membawa segelas air putih. “Maaf Pak, sampai lupa, minum dulu!
Namun adanya air putih.” Katanya. Dia pun kembali melanjutkan pemasangan
kancing lagi sambil sesekali ku ajak ngobrol sedikit.
Duh ini perempuan, sudah cantik,
pandai membahagiakan tamu lagi. Sikapnya, senyumannya, kata-katanya dan
pakaiannya penuh dengan etika dan kenyamanan. “Sungguh beruntung lelaki yang
memperisterinya.” Gumamku.
Siti: “Maaf, ada apa Pak?” Siti
bertanya kepadaku dengan wajah kemerah-merahan, dan agak malu-malu. Rupanya dia
mendengarkan gumamanku tadi.
Sebagai dosen aku pun agak menjaga
jangan sampai aku dibuat gugup oleh mahasiswi sendiri. Langsung saja aku bilang
lagi: “Kamu ini cantik dan baik deh. Saya berhutang budi padamu. Sebagai tanda
terima kasih, mau saya traktir jajan bakso”
Siti: “Ah Bapak, mujinya jangan
berlebihan dong! Enggak usah traktir-traktiran Pak, Siti bisa bantu Bapak juga
sudah suka kok. Belum lagi sekarang kan sudah sebentar lagi masuk.”
Aku: “Tidak berlebihan, tapi fakta
berkata demikian.” Aku menyahutnya sambil ketawa kecil.
Rupanya waktu kurang bersahabat. Baru
juga ngobrol dikit, kancing sudah terpasang. Sebenarnya sudah dari tadi
selesai, namun karena ada sedikit obrolan jadi waktunya agak lama.
Sitipun sambil menyembunyikan senyum-senyum
kecilnya, menutup pintu kamar kosan. Kami menuju sepeda motor lagi, dan aku pun
siap membonceng lagi bidadari yang satu ini walau hanya berjarak tempuh 5 menit
saja.
Aku: “Tapi, kapan-kapan mau dong
saya ajak jajan bakso sebagai tanda terimakasih? Kalau keberatan kita berdua
jalan, ajak teman juga boleh.”
Siti hanya tersenyum dan memberikan
anggukan kecil, seraya memberikan sinar mata dan gesture tubuh kebahagiaan atas
tawaranku itu. Duuuh, Siti, Siti, inginnya saya bertanya: “Maukah dinda menjadi
isteriku?” J
"Investasi Emas dan Reksadana, Untung Mana?."
|
Youtube: Katabah Com: Menuju 1 jt Konten :) |
|
amin... aminn... amin... seribu amin kang, semoga memang jadi istrinya kelak... ngomong2 baca disini baru tahu kang Komar ini dosen, wowww deh... hehehe
ReplyDeleteHe...he... dosennya dosen fiksi, Mas. Ini kan cerita fiksi. Saya hanya blogger pemula yang sedang belajar menulis dalam berbagai peran.
DeleteTapi terimakasih juga buat doanya ya... :)
wah, hebat ni ceritanya Kang, walaupun fiksi, tapi seperti betulan ni.
ReplyDeleteTerimakasih atas motivasinya, Kang. Karena saya masih kesulitan pakai kata ganti orang ketiga sebagai pelakon utama, jadi pakai "Aku" dulu deh untuk belajar fiksi kali ini :)
Deletesubhanalloh
ReplyDeleteAPIK :-)
mksih